American Party SC – Di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, Badan Imigrasi dan Penegakan Bea Cukai Amerika Serikat (ICE) menjadi garda terdepan dalam kebijakan keras terhadap migran. Trump Perkuat ICE dengan pendanaan dalam jumlah besar dan kewenangan luas untuk melaksanakan penggerebekan. Namun, di balik peningkatan kekuatan tersebut, para petugas menghadapi beban berat berupa jam kerja panjang, tekanan dari publik, serta meningkatnya risiko dalam menjalankan tugas.
Menurut laporan Reuters, dua pejabat aktif dan sembilan mantan pejabat ICE mengungkapkan bahwa organisasi ini tengah berjuang dengan kelelahan dan rasa frustrasi di antara anggotanya. Trump Perkuat ICE melalui agenda penegakan hukum yang agresif, sehingga personel kesulitan menjaga keseimbangan antara tuntutan kerja dan kondisi fisik maupun mental. Banyak di antara mereka merasa tertekan dengan target harian penangkapan yang ditetapkan pemerintah.
Untuk mengurangi beban tersebut, ICE meluncurkan program perekrutan besar-besaran. Ribuan petugas baru ditargetkan dapat segera bergabung, meskipun prosesnya diperkirakan akan memakan waktu lama. Meski mayoritas pejabat ICE, baik yang masih aktif maupun yang telah pensiun, mendukung prinsip penegakan hukum imigrasi, mereka menilai kebijakan kuota penangkapan terlalu berlebihan. Hal itu berujung pada penahanan individu tanpa catatan kriminal, pemegang izin tinggal sah, bahkan sejumlah warga negara Amerika.
Baca Juga : Ketegangan Federal: Garda Nasional Bersenjata di Washington
Kebijakan agresif ini juga menimbulkan gelombang kritik publik. Berbagai rekaman yang tersebar di media sosial memperlihatkan agen ICE bertopeng dan bersenjata memborgol orang di tempat kerja, sekolah, gereja, bahkan di depan rumah. Video tersebut memicu kemarahan masyarakat karena dianggap menggunakan taktik berlebihan. Data lembaga menunjukkan bahwa sejak awal pemerintahan Trump, jumlah penangkapan meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode yang sama di bawah Presiden Joe Biden.
Meskipun Trump berulang kali menegaskan targetnya adalah mendeportasi pelaku kriminal berbahaya, kenyataannya jumlah migran tanpa catatan kriminal yang ditahan justru meningkat tajam. Rata-rata penangkapan harian terhadap orang-orang dengan pelanggaran imigrasi sederhana melonjak menjadi 221 per hari, dari sebelumnya hanya 80 per hari pada masa Biden. Angka tersebut menimbulkan kekhawatiran mengenai fokus lembaga yang bergeser dari penjahat serius ke penangkapan massal.
Kondisi ini juga berdampak pada para penyelidik ICE yang biasanya menangani kasus perdagangan manusia atau geng internasional. Banyak dari mereka dipindahkan untuk melakukan operasi rutin, sehingga menimbulkan rasa frustrasi. Kepala perbatasan pemerintahan Trump, Tom Homan, mengakui adanya ketegangan internal, tetapi berpendapat bahwa keadaan darurat nasional terkait imigrasi ilegal membenarkan langkah tersebut. Ia meyakini perekrutan baru akan memperbaiki kondisi kerja dan meningkatkan moral.
Tekanan lain datang dari target Gedung Putih yang menuntut penangkapan hingga 3.000 orang per hari. Jumlah ini sepuluh kali lipat lebih besar dibandingkan tingkat penangkapan sebelumnya. Akibatnya, operasi kerap berjalan terburu-buru dan berisiko, termasuk beberapa kali agen mendatangi alamat yang salah setelah mengandalkan sistem kecerdasan buatan. Hal tersebut tidak hanya membahayakan petugas, tetapi juga meningkatkan kemungkinan salah tangkap.
Di berbagai kota, operasi ICE kerap memicu perlawanan warga. Agen bertopeng sering dihadang penduduk yang menuntut mereka mengidentifikasi diri. Menurut mantan penasihat hukum utama ICE, Kerry Doyle, banyak komunitas memandang lembaga ini secara negatif, sehingga menambah tekanan sosial dan psikologis bagi para petugas serta keluarga mereka.
Sentimen publik terhadap kebijakan Trump dalam isu imigrasi juga menurun. Jajak pendapat Reuters/Ipsos menunjukkan dukungan hanya 43 persen pada Agustus, turun dari 50 persen pada Maret. Pandangan ini dipengaruhi oleh laporan tentang orang tua yang ditahan saat mengantar anak sekolah, mahasiswa yang ditangkap di kampus, hingga operasi keras di tempat umum seperti halte bus atau toko bangunan.
Meskipun menghadapi kritik, pemerintahan Trump terus memperkuat ICE dengan anggaran besar. Kongres menyetujui paket pendanaan senilai 75 miliar dolar untuk lebih dari empat tahun. Termasuk pembangunan fasilitas penahanan baru dengan kapasitas mencapai 100.000 orang. Selain itu, pemerintah meluncurkan kampanye perekrutan besar dengan slogan patriotik yang disebarkan melalui media sosial. Hingga kini, lebih dari 115.000 warga Amerika telah melamar untuk bergabung dengan ICE.
Namun, rekrutmen cepat juga menimbulkan kekhawatiran akan masuknya personel yang kurang berkualifikasi. Homan menegaskan bahwa meskipun jumlah sangat dibutuhkan, kualitas harus tetap menjadi prioritas. Setiap calon petugas diwajibkan menjalani pemeriksaan latar belakang, seleksi ketat, dan pelatihan di akademi sebelum resmi bertugas.
Pada akhirnya, kebijakan keras Trump terhadap migran menempatkan ICE dalam posisi yang rumit. Di satu sisi, lembaga ini mendapat dana besar, kewenangan luas, serta dukungan politik untuk memperluas operasi. Namun di sisi lain, mereka berhadapan dengan beban kerja yang berat, tekanan publik yang meningkat. Serta risiko internal yang kian besar. Dilema ini memperlihatkan bahwa kebijakan imigrasi yang agresif tidak hanya berdampak pada para migran. Akan tetapi juga menekan aparat yang ditugaskan melaksanakannya.
Simak Juga : Mopane Worms (Ulat Mopane): Camilan Ekstrem Afrika yang Kaya Nutrisi