American Party SC – Donald Trump mengungkapkan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin sepakat dengannya bahwa pemungutan suara melalui pos dapat mengancam kejujuran pemilu. Dalam wawancara dengan acara Hannity di Fox News Channel setelah Pertemuan Alaska, Trump menyebut Putin menilai tidak ada negara yang sepenuhnya mengandalkan mekanisme tersebut.
Trump kembali menegaskan pentingnya Partai Republik untuk memperjuangkan perubahan aturan pemilu, terutama dalam hal pembatasan penggunaan surat suara absen yang menurutnya rawan kecurangan. Penekanan ini ia sampaikan setelah Pertemuan Alaska yang menjadi sorotan publik internasional.
Ironisnya, Trump sendiri pernah menggunakan hak pilih melalui pos dalam beberapa pemilu sebelumnya. Bahkan, ia sempat mendorong para pendukungnya untuk melakukan hal yang sama pada pemilu 2024. Hal ini membuat kritik terhadap sikap Trump semakin tajam karena dinilai kontradiktif dengan ucapannya.
Baca Juga : Washington Gugat Trump atas Pengambilalihan Kepolisian Kota
Di sisi lain, Putin yang telah berkuasa di Rusia sejak 1999 melalui jabatan presiden maupun perdana menteri, baru saja memenangkan pemilu 2024 dengan perolehan suara sekitar 87 persen. Hasil tersebut memunculkan gelombang tuduhan kecurangan dari pengamat independen, kelompok oposisi, hingga pemerintah Barat. Tuduhan ini semakin mencuat setelah tokoh oposisi paling berpengaruh, Alexei Navalny, meninggal dunia di sebuah koloni hukuman di wilayah Arktik pada tahun yang sama.
Hingga saat ini, pihak Kedutaan Besar Rusia di Washington belum memberikan komentar terkait ucapan Trump mengenai percakapannya dengan Putin. Namun, diketahui bahwa Putin dalam berbagai kesempatan sebelumnya juga kerap menyinggung soal kecurangan dalam pemilu Amerika Serikat tanpa menghadirkan bukti yang jelas. Ucapan tersebut dianggap selaras dengan narasi Trump yang berulang kali menyatakan adanya kecurangan besar-besaran dalam pemilu 2020, meskipun tuduhan itu telah dibantah oleh berbagai lembaga resmi.
Sejak pemilu 2016, keterlibatan Rusia dalam politik Amerika Serikat memang menjadi isu besar. Investigasi Departemen Kehakiman serta Senat menemukan bahwa Moskow berusaha memengaruhi jalannya kampanye untuk membantu kemenangan Trump. Laporan intelijen juga menyebut Rusia tetap memiliki preferensi agar Trump kembali terpilih pada pemilu 2020 maupun 2024. Meski begitu, Trump menolak keras anggapan bahwa ia maupun tim kampanyenya pernah berkolusi dengan Rusia. Menurutnya, tuduhan itu sengaja diarahkan untuk menjatuhkan dirinya.
Dalam wawancara di Alaska, Trump kembali menyampaikan rasa frustrasinya terhadap Partai Republik yang menurutnya tidak menunjukkan keberanian penuh dalam memperjuangkan reformasi pemilu. Ia menegaskan bahwa demokrasi yang kuat tidak akan bisa terwujud bila sistem pemungutan suara melalui pos tetap dipertahankan secara luas. Ucapannya memperlihatkan keinginan Trump untuk tetap menjadi penggerak utama perubahan dalam mekanisme pemilu Amerika, bahkan ketika dirinya tidak lagi menjabat.
Sejumlah politisi Partai Republik mendukung gagasan pembatasan pemungutan suara melalui pos, termasuk dengan mewajibkan penggunaan identitas resmi saat memberikan suara. Mereka beralasan kebijakan semacam itu dapat mengurangi risiko penyalahgunaan, peniruan identitas, hingga pemalsuan surat suara. Akan tetapi, penelitian independen dan pengalaman penyelenggaraan pemilu di berbagai negara menunjukkan bahwa kasus kecurangan semacam itu sangat jarang terjadi.
Lembaga Internasional untuk Demokrasi dan Bantuan Pemilu yang berbasis di Swedia mencatat bahwa hampir tiga lusin negara, termasuk Kanada, Jerman, dan Korea Selatan, menerapkan sistem pemungutan suara melalui pos dalam beberapa bentuk. Meski demikian, sebagian besar negara tersebut menerapkan pembatasan tertentu bagi pemilih yang berhak, sehingga tidak semuanya bersifat terbuka secara luas seperti di Amerika Serikat. Fakta ini menepis klaim Putin maupun Trump yang menyatakan tidak ada negara lain yang menggunakan mekanisme serupa.
Sikap Trump juga dinilai menandai perubahan besar dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Selama bertahun-tahun, Washington kerap menekankan pentingnya integritas pemilu dan mendukung penyelenggaraan demokrasi di negara-negara lain. Namun, pada masa Trump, pemerintahannya lebih berhati-hati dalam mengomentari keadilan pemilu di luar negeri. Pendekatan ini dianggap sebagai penyimpangan dari tradisi politik Amerika yang biasanya lantang mengkritik praktik pemilu yang dianggap tidak demokratis.
Dengan rangkaian pernyataan ini, Trump kembali meneguhkan posisinya sebagai tokoh politik yang tetap berpengaruh dan kontroversial. Meski pemilu 2024 telah usai, ia belum menutup kemungkinan untuk mencalonkan diri kembali. Bahkan sempat menyiratkan ide tentang masa jabatan ketiga meski jelas bertentangan dengan konstitusi Amerika Serikat. Sikap tersebut memperlihatkan ambisinya yang tidak surut, sementara hubungannya dengan Putin kembali menjadi sorotan tajam dunia internasional.
Simak Juga : Baby Mouse Wine: Minuman Tradisional Asal Tiongkok yang Bikin Merinding