American Party SC – Universitas Harvard akhirnya menyetujui penyelesaian gugatan hukum yang telah berlangsung selama enam tahun terkait kepemilikan foto-foto seorang ayah dan anak perempuan yang diperbudak. Foto-foto tersebut diambil secara paksa pada tahun 1850 oleh seorang profesor Harvard untuk tujuan penelitian yang kini diakui sebagai rasis. Langkah ini diambil setelah keturunan langsung dari pria yang difoto, Tamara Lanier, menggugat Harvard atas dugaan kepemilikan tidak sah. Serta penggunaan gambar tanpa persetujuan dari leluhurnya.
Dalam pengumuman yang disampaikan oleh tim hukum Lanier pada hari Rabu. Harvard telah sepakat untuk menyerahkan kepemilikan foto-foto tersebut. Namun, foto-foto itu tidak akan langsung diberikan kepada Lanier. Sebagai gantinya, gambar tersebut, bersama dengan lima foto lain dari orang-orang yang juga diperbudak. Akan diserahkan ke Museum Afrika Amerika Internasional di Charleston, Carolina Selatan. Keputusan ini menjadi simbol penting dalam upaya pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak serta martabat para korban perbudakan dan keturunannya.
Baca Juga : Kongres Maryland Dilarang Temui Warga Dideportasi
Foto-foto tersebut menggambarkan Renty Taylor dan putrinya, Delia, yang kala itu diperbudak di sebuah perkebunan di Carolina Selatan. Mereka dipaksa untuk membuka pakaian dan difoto dalam kondisi setengah telanjang menggunakan teknik daguerreotype. Foto-foto ini dibuat untuk mendukung teori rasial dari Profesor Louis Agassiz, yang berusaha membuktikan bahwa orang kulit hitam secara ilmiah dianggap inferior. Gambar-gambar tersebut kemudian disimpan di Museum Arkeologi dan Etnologi Peabody, yang berada di lingkungan kampus Harvard.
Gugatan hukum yang diajukan Lanier pada tahun 2019 sempat ditolak oleh pengadilan negara bagian di Massachusetts. Namun, pada tahun 2022, pengadilan tertinggi negara bagian menghidupkan kembali kasus ini. Dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa Lanier secara masuk akal telah menuduh Harvard melakukan kelalaian dan dengan ceroboh menyebabkan tekanan emosional terhadap dirinya.
Hakim Scott Kafker, yang menulis keputusan untuk pengadilan, mengkritik keras cara Harvard menangani klaim tersebut. Ia menyebut Harvard telah bersikap angkuh dengan meremehkan bukti silsilah yang diajukan Lanier. Selain itu, universitas juga dianggap mengabaikan permintaan informasi dari Lanier mengenai bagaimana gambar-gambar itu digunakan, termasuk ketika Harvard menampilkan foto Renty Taylor pada sampul sebuah buku tanpa persetujuan keluarga.
Dalam putusannya, Hakim Kafker juga menekankan bahwa karena Harvard terlibat langsung dalam proses pembuatan gambar-gambar yang dianggap kejam dan tidak manusiawi itu, maka universitas memiliki tanggung jawab moral dan hukum terhadap keturunan dari individu yang menjadi korban. Pernyataan ini memperkuat posisi Lanier dalam menuntut keadilan dan pengakuan atas pelanggaran terhadap hak-hak leluhurnya.
Penyelesaian kasus ini terjadi di tengah masa sulit bagi Harvard, karena universitas sedang menghadapi tekanan dari pemerintahan federal yang dipimpin oleh Presiden Republik saat itu, Donald Trump. Pemerintah berusaha mengurangi pendanaan hibah besar dan membatasi penerimaan mahasiswa asing, yang menambah tekanan terhadap institusi tersebut.
Dengan penyelesaian ini, Harvard tidak hanya merespons tuntutan hukum, tetapi juga menandai langkah awal dalam menghadapi masa lalu kelamnya terkait keterlibatan dalam praktik perbudakan dan diskriminasi rasial. Penyerahan foto-foto tersebut kepada museum menjadi simbol penting dalam upaya mengenang dan menghormati mereka yang menjadi korban praktik tidak manusiawi di masa lalu. Keputusan ini diharapkan menjadi contoh bagi institusi lain dalam menangani warisan sejarah yang menyakitkan secara bertanggung jawab.
Simak Juga : Adat Siti La Ode: Pilar Kehidupan Sosial Masyarakat Gorontalo