American Party SC – Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali memicu perdebatan publik usai pernyataan untuk mengirim pasukan militer ke Chicago. Dalam pidatonya, ia menyebut kota terbesar ketiga di AS itu sebagai “lubang neraka” akibat tingginya tingkat kejahatan, khususnya kasus penembakan yang kerap terjadi. Chicago selama ini dikenal sebagai salah satu basis politik Partai Demokrat. Pernyataan Trump muncul setelah serangkaian insiden kekerasan bersenjata yang menewaskan beberapa orang pada akhir pekan sebelumnya. Ia menilai bahwa pemerintah kota gagal mengendalikan situasi keamanan, sehingga intervensi pemerintah federal diperlukan.
Trump mengaitkan rencananya di Chicago dengan langkah-langkah serupa yang telah ia ambil di kota lain. Menurutnya, pengerahan pasukan di Los Angeles dan Washington DC sebelumnya berhasil menekan angka kejahatan.
Beberapa contoh langkah yang pernah diambil Trump antara lain:
Trump mengklaim bahwa langkah-langkah tersebut menunjukkan efektivitas intervensi militer dalam mengendalikan situasi keamanan di kota-kota besar.
Baca Juga : Tarif Nol Persen dari India Dinilai Terlambat, AS Tetap Tekan dengan Sanksi
Rencana pengerahan tentara ke Chicago langsung mendapat penolakan dari pejabat dan politisi Partai Demokrat. Mereka menilai langkah itu sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan eksekutif yang berpotensi melanggar konstitusi.
Para penentang berpendapat bahwa keamanan publik seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dan kepolisian setempat, bukan militer federal. Mereka juga khawatir bahwa kehadiran tentara di jalanan akan memperburuk ketegangan sosial dan memicu bentrokan dengan warga.
Jika rencana ini dijalankan, dampaknya bisa meluas ke berbagai aspek kehidupan masyarakat Chicago. Beberapa potensi konsekuensinya antara lain:
Selain itu, Pernyataan Trump tentang penggunaan istilah “lubang neraka” oleh Trump dinilai sebagian pihak sebagai retorika yang dapat memperburuk citra Chicago di mata publik, baik di dalam negeri maupun internasional.
Pengerahan militer di wilayah sipil bukanlah hal yang sederhana secara hukum. Konstitusi AS dan Undang-Undang Posse Comitatus membatasi penggunaan militer untuk penegakan hukum domestik, kecuali dalam kondisi tertentu. Untuk melaksanakan rencana ini, Trump kemungkinan harus mengandalkan Undang-Undang Insurrection Act, yang memberi presiden wewenang mengerahkan pasukan dalam situasi darurat. Namun, penerapan undang-undang ini sering kali menuai perdebatan sengit, terutama terkait definisi “darurat” dan batas kewenangan presiden.
Bagaimanapun, perdebatan ini menunjukkan bahwa isu keamanan publik di AS tidak hanya soal penegakan hukum, tetapi juga menyangkut hubungan kekuasaan antara pemerintah federal dan daerah, serta persepsi masyarakat terhadap kebebasan sipil. Di satu sisi, ia mengklaim langkah ini akan menekan angka kejahatan. Di sisi lain, banyak pihak menilai kebijakan tersebut berisiko tinggi secara politik, sosial, dan hukum.