Pemerintah AS di bawah Trump memang menargetkan deportasi massal terhadap jutaan imigran ilegal, termasuk peningkatan pengiriman ke negara-negara seperti Sudan Selatan dan Eswatini, yang sebelumnya dikenal sebagai Swaziland. Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) menjelaskan bahwa deportasi ke negara ketiga dilakukan bagi individu yang dianggap terlalu berbahaya hingga negara asal mereka menolak menerima mereka kembali. Meski begitu, para pengkritik menilai praktik ini kejam dan tidak selalu diperlukan.
Sebagian imigran memang telah menyelesaikan masa hukuman di AS sebelum dideportasi. Misalnya, delapan pria dikirim ke Sudan Selatan dan lima lainnya ke Eswatini. Beberapa di antaranya berasal dari Kuba, Vietnam, Laos, Myanmar, Jamaika, dan Yaman. Meskipun ada yang telah bebas bertahun-tahun sebelumnya, mereka tetap menjadi sasaran deportasi. Beberapa negara asal para imigran tersebut, seperti Meksiko dan Vietnam, tidak memberikan tanggapan resmi atau tidak dihubungi sebelumnya oleh pihak AS.
Baca Juga : Ghislaine Maxwell Pindah ke Penjara Keamanan Minimum di Texas
Imigran Telah Menjalani Hukuman sebelum Dideportasi
Dalam kasus yang mencolok, dua pria asal Vietnam, dua pria asal Laos, dan seorang pria Meksiko sempat diancam akan dideportasi ke Libya. Namun setelah pengadilan AS memblokir langkah tersebut, mereka justru dipulangkan ke negara asal masing-masing. DHS menolak memberikan pernyataan terkait alasan awal pengiriman ke Libya, meski dokumen menunjukkan beberapa dari mereka memiliki dokumen sah untuk kembali ke negara asal.
Seorang juru bicara DHS menyebut bahwa orang-orang yang dideportasi itu adalah pelanggar hukum berat seperti pelaku kekerasan seksual dan pembunuhan anak. Sehingga dianggap sebagai ancaman serius. Namun, para pengacara dan aktivis hak imigran menilai deportasi ke negara ketiga justru melanggar prinsip-prinsip perlindungan kemanusiaan. Terlebih jika negara tujuan tidak memiliki kaitan personal atau legal dengan individu yang dideportasi.
Salah satu contoh yang mengundang perhatian adalah Jesus Munoz Gutierrez, warga negara Meksiko yang dideportasi ke Sudan Selatan. Ia sebelumnya menjalani hukuman atas kasus pembunuhan dan langsung ditahan imigrasi setelah bebas. Keluarganya menyatakan bahwa Meksiko tidak pernah menolak untuk menerimanya kembali. Pemerintah Meksiko sendiri tidak memberi komentar ketika deportasi dilakukan.
Deportasi ke Negara Tak Berkaitan Dinilai Bertentangan dengan Prinsip Hukum
Di sisi lain, ada lima migran yang dikirim ke Eswatini dan ditahan di unit penjara terisolasi atas perjanjian dengan pemerintahan Trump. Kasus ini menyoroti praktik pengiriman ke negara-negara yang belum tentu menjamin keselamatan para migran.
Mahkamah Agung AS memang memberikan lampu hijau bagi pemerintah untuk mendeportasi seseorang tanpa perlu memberi kesempatan . Mereka membuktikan bahwa mereka akan dirugikan di negara tujuan. Namun, legalitas praktik ini masih menjadi perdebatan di pengadilan federal. Para ahli menilai kebijakan ini sebagai cara untuk menekan migran agar secara sukarela kembali ke negara asal. Daripada menghadapi kemungkinan dikirim ke negara yang sama sekali asing bagi mereka.
Pemerintah AS bahkan telah meminta negara-negara Afrika dan Kepulauan Pasifik untuk menerima migran tersebut. Berdasarkan hukum yang berlaku, deportasi ke negara ketiga hanya diperbolehkan jika pemulangan ke negara asal tidak memungkinkan. Namun, dalam praktiknya, keputusan tersebut tampak sewenang-wenang dan menimbulkan kecemasan mendalam di kalangan para migran.
Seorang pria Laos yang hampir dideportasi ke Libya menggambarkan kebingungannya dan rasa tidak aman. Ia bertanya mengapa mereka harus menjadi pion dalam kebijakan politik. Kini, ia berusaha beradaptasi kembali di Laos. Negara yang hampir tidak dikenalnya sejak kecil, dan menjalani hidupnya satu hari demi satu hari.