American Party SC – Administrasi Trump kembali memicu perdebatan publik setelah muncul laporan bahwa Departemen Kehakiman (DOJ) tengah mempertimbangkan langkah untuk membatasi akses pembelian senjata bagi individu transgender. Rencana ini mencuat setelah serangan bersenjata di sebuah gereja Katolik di Minneapolis, yang pelakunya diidentifikasi sebagai transgender. Kasus tersebut menimbulkan tekanan politik agar pemerintah segera mengambil tindakan pencegahan yang dianggap dapat mengurangi risiko kekerasan serupa.
Meski begitu, pihak DOJ menyatakan bahwa pembahasan masih dalam tahap awal. Fokus resmi kebijakan diarahkan pada isu kesehatan mental dan penyalahgunaan zat yang dikaitkan dengan kepemilikan senjata. Namun, banyak pihak menilai kebijakan ini berpotensi menyasar identitas gender sebagai faktor pembeda, yang pada akhirnya dapat memicu diskriminasi.
Rencana ini langsung menuai kritik dari kelompok advokasi hak LGBTQ+, termasuk organisasi besar seperti GLAAD. Mereka menegaskan bahwa individu transgender justru lebih sering menjadi korban kejahatan, bukan pelaku, sehingga menempatkan mereka sebagai target pembatasan dinilai tidak adil. Statistik pun menunjukkan bahwa keterlibatan transgender dalam kasus penembakan massal sangat kecil dibandingkan kelompok lain.
Di sisi lain, kelompok pro-senjata seperti Gun Owners of America juga mengecam usulan ini. Mereka menilai kebijakan tersebut bertentangan dengan Amandemen Kedua Konstitusi Amerika Serikat yang menjamin hak warga untuk memiliki senjata. Bahkan, sebagian pengacara hak sipil memperingatkan bahwa pembatasan ini bisa bertabrakan dengan aturan hukum, karena hanya pengadilan yang berwenang menyatakan seseorang tidak memenuhi syarat kepemilikan senjata atas dasar kesehatan mental.
Baca Juga : Perang Rusia dan Ukraina: Trump Dorong Upaya Perdamaian Lewat Diplomasi
Pihak pendukung rencana ini mengemukakan beberapa alasan yang dijadikan dasar pertimbangan. Namun, alasan tersebut masih diperdebatkan karena dianggap terlalu menyederhanakan persoalan kompleks.
Reaksi terhadap insiden kekerasan: Kasus penembakan di Minneapolis memicu desakan politik untuk mengaitkan identitas gender dengan kepemilikan senjata.
Narasi kesehatan mental: Ada anggapan bahwa transgender lebih rentan terhadap masalah kesehatan mental, sehingga dikhawatirkan dapat meningkatkan risiko penyalahgunaan senjata.
Konsistensi dengan kebijakan sebelumnya: Administrasi Trump memiliki rekam jejak membatasi hak-hak transgender, mulai dari larangan dinas militer hingga perubahan dokumen hukum, sehingga langkah ini dipandang sebagai kelanjutan.
Meski demikian, banyak pakar menilai alasan ini belum memiliki dasar ilmiah yang kuat. Mengaitkan identitas gender dengan kekerasan dinilai berlebihan dan justru bisa menciptakan stigma baru.
Kritik terhadap rencana kebijakan ini datang dari berbagai pihak dengan sudut pandang berbeda. Kelompok hak sipil melihatnya sebagai bentuk diskriminasi yang merugikan kelompok minoritas. Mereka berargumen bahwa fokus kebijakan Administrasi Trump seharusnya diarahkan pada sistem pemeriksaan latar belakang, regulasi penjualan senjata, serta akses layanan kesehatan mental, bukan identitas gender seseorang.
Ahli hukum juga menekankan aspek konstitusional. Mereka menilai pemerintah tidak dapat secara sepihak mencabut hak kepemilikan senjata tanpa melalui putusan pengadilan. Jika kebijakan ini dipaksakan, besar kemungkinan akan digugat di pengadilan federal. Di sisi lain, komunitas transgender menegaskan bahwa wacana ini menambah beban diskriminasi yang sudah mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Daripada menutup dengan kesimpulan, lebih penting untuk melihat mengapa isu ini perlu mendapat pengawasan publik secara serius. Pertama, jika kebijakan ini disahkan, akan ada preseden berbahaya bahwa identitas gender bisa dijadikan alasan legal untuk membatasi hak sipil. Hal ini dapat membuka peluang bagi kebijakan diskriminatif lain di masa depan.
Kedua, isu ini juga akan menguji sejauh mana Amerika Serikat mampu menyeimbangkan kebutuhan keamanan publik dengan perlindungan hak individu. Dengan maraknya kasus penembakan massal, jelas dibutuhkan solusi yang komprehensif. Namun, solusi tersebut harus berbasis data dan keadilan, bukan pengkambinghitaman terhadap kelompok tertentu.
Terakhir, wacana ini akan menjadi ujian bagi hubungan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Apakah kebijakan berbasis identitas bisa bertahan di meja hukum atau justru akan dibatalkan karena melanggar konstitusi. Apa pun hasil akhirnya, perdebatan ini akan memberikan gambaran arah politik dan hak sipil di era administrasi Trump.