American Party SC – Pemberontak Revolusi Suriah mengklaim telah berhasil menggulingkan Presiden Bashar al-Assad setelah merebut Damaskus. Keberhasilan ini memaksa Assad melarikan diri dan menandai berakhirnya pemerintahan otokratis keluarga Assad yang berlangsung lebih dari 50 tahun. Dalam kejadian yang mengejutkan, ribuan warga Damaskus turun ke jalan merayakan jatuhnya rezim tersebut. Mereka berkumpul di alun-alun utama ibu kota, melambaikan tangan dan meneriakkan “Kebebasan”. Beberapa orang terlihat mengambil barang-barang dari Istana Kepresidenan Al-Rawda. Para pemberontak juga membebaskan tahanan yang sebelumnya dipenjarakan dalam kondisi yang sangat buruk selama perang saudara yang sudah berlangsung lebih dari 13 tahun.
Panglima pemberontak terkemuka, Abu Mohammed al-Golani. Ia menegaskan bahwa tidak ada jalan kembali dan masa depan Suriah kini berada di tangan mereka. Namun, meskipun perayaan mereda. Tantangan besar menanti di depan. Suriah yang hancur akibat perang saudara dan terbagi antara berbagai faksi akan memerlukan miliaran dolar untuk rekonstruksi. Negara ini juga menghadapi ancaman kebangkitan ISIS dan risiko ketidakstabilan yang lebih besar akibat konflik yang masih melibatkan banyak kekuatan luar.
Selama perang saudara, Revolusi Suriah menjadi medan pertempuran bagi banyak negara besar dan kelompok bersenjata. Termasuk Rusia dan Iran yang telah lama mendukung Assad. Namun, keduanya kini menghadapi kesulitan terkait dengan krisis internal mereka sendiri. Rusia. Yang pertama kali terlibat dalam konflik ini pada 2015, saat ini terhambat oleh perang Ukraina, sementara Iran mengeluarkan pernyataan bahwa masa depan Suriah harus ditentukan oleh rakyatnya tanpa campur tangan asing.
Setelah kekalahan Assad, situasi di Suriah tampaknya memasuki babak baru dengan pembentukan pemerintahan transisi. Pemberontak menegaskan bahwa mereka berkomitmen untuk membangun Suriah yang lebih baik, meskipun mereka juga harus menghadapi faksi-faksi yang bersaing. Salah satu masalah utama adalah pengaruh kelompok teroris seperti Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang merupakan kelompok Islamis besar yang dipimpin oleh Golani. Kelompok ini sebelumnya berafiliasi dengan Al-Qaeda, tetapi pada 2016 memutuskan hubungan dengan jaringan jihad global tersebut.
Meskipun ada optimisme mengenai berakhirnya kekuasaan Assad, para pemimpin baru Suriah harus segera menghadapi tantangan besar dalam mengelola transisi politik. Selain itu, negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Turki, dan negara-negara Uni Emirat Arab. Mereka harus memutuskan bagaimana berhubungan dengan pemerintahan yang kemungkinan dipengaruhi oleh HTS. HTS sendiri menjadi salah satu kelompok pemberontak paling kuat di Suriah, meskipun beberapa warga Suriah khawatir mereka akan memberlakukan hukum Islam yang ketat atau terlibat dalam pembalasan terhadap musuh-musuhnya.
Israel, yang selama ini mendukung oposisi terhadap Assad dan sekutunya Hizbullah, memantau situasi dengan cermat. Mereka telah meningkatkan kehadiran militer di sepanjang zona penyangga dengan Suriah, termasuk melakukan serangan udara terhadap pangkalan-pangkalan militer yang diyakini digunakan oleh kelompok Islamis. Menteri Luar Negeri Turki juga mengingatkan agar organisasi teroris tidak memanfaatkan ketidakstabilan ini, sementara AS masih mempertahankan sekitar 900 pasukannya di Suriah untuk mengawasi potensi kebangkitan ISIS.
Perkembangan ini juga menandai pergeseran penting dalam politik Timur Tengah, di mana kekuatan besar harus memikirkan ulang strategi mereka. Suriah, yang sebelumnya menjadi medan perang dengan banyak faksi yang saling bertarung, kini menghadapi realitas baru. Pemberontak yang berhasil merebut kekuasaan di Damaskus harus segera menangani tantangan besar, mulai dari mengelola pemerintahan transisi hingga membangun kembali negara yang hancur. Pada saat yang sama, mereka harus menjaga keseimbangan antara kelompok Islamis yang kuat dan negara-negara internasional yang berkepentingan dengan stabilitas kawasan.