Salah satu hakim distrik yang memblokir perintah itu adalah Hakim Leo Sorokin di Boston. Ia baru-baru ini menegaskan kembali keputusannya untuk menghentikan penegakan kebijakan tersebut secara nasional. Ini dilakukan meskipun Mahkamah Agung AS pada bulan Juni membatasi kekuasaan hakim untuk mengeluarkan perintah berskala luas terhadap kebijakan pemerintah federal. Hakim lainnya yang terlibat berasal dari New Hampshire. Serta keduanya memutuskan mendukung gugatan dari koalisi 18 negara bagian yang dipimpin Partai Demokrat serta Distrik Columbia.
Sementara itu, Pengadilan Banding Sirkuit ke-9 AS yang berbasis di San Francisco sebelumnya telah menjadi pengadilan pertama. Yang secara eksplisit menyatakan bahwa perintah Trump melanggar Konstitusi. Dengan dua pengadilan banding telah menyatakan sikap serupa, kasus ini diperkirakan akan mencapai Mahkamah Agung untuk mendapatkan keputusan akhir.
Isi dan Tujuan Perintah Eksekutif Trump
Dalam sidang terbaru, pengacara Departemen Kehakiman AS, Eric McArthur. Ia berpendapat bahwa klausul kewarganegaraan dalam Amandemen ke-14 Konstitusi, yang diratifikasi pada tahun 1868. Hanya ditujukan untuk memberikan kewarganegaraan kepada anak-anak mantan budak. Ia menekankan bahwa konstitusi tidak dimaksudkan untuk memberikan kewarganegaraan otomatis kepada anak-anak dari warga asing yang tinggal di AS secara ilegal atau sementara.
Baca Juga : Deportasi Negara Ketiga: Kontroversi Kebijakan Imigrasi Trump
Namun, pernyataan tersebut ditanggapi skeptis oleh para hakim. Mereka mengacu pada putusan Mahkamah Agung tahun 1898 dalam kasus United States v. Wong Kim Ark, yang menyatakan bahwa anak-anak yang lahir di Amerika dari orang tua non-warga negara tetap berhak atas kewarganegaraan berdasarkan prinsip kelahiran. Ketua Hakim Sirkuit David Barron menyatakan bahwa pengadilan banding tidak dapat mengabaikan preseden Mahkamah Agung yang telah menetapkan standar konstitusional tersebut.
Perintah eksekutif Trump, yang diterbitkan pada 20 Januari di awal masa jabatan keduanya, menginstruksikan lembaga-lembaga pemerintah untuk tidak mengakui kewarganegaraan anak-anak yang lahir di AS jika kedua orang tua mereka bukan warga negara AS atau pemegang kartu hijau. Kebijakan ini segera digugat secara hukum dan diberi penangguhan oleh beberapa pengadilan distrik. Hal ini termasuk dalam kasus class action yang diajukan baru-baru ini.
Celah Hukum untuk Memblokir Kebijakan secara Nasional Masih Terbuka
Shankar Duraiswamy, pengacara yang mewakili negara bagian New Jersey, menegaskan bahwa Mahkamah Agung telah secara konsisten mengakui bahwa anak-anak dari imigran tidak berdokumen maupun yang tinggal sementara tetap berhak atas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran.
Meskipun Mahkamah Agung telah membatasi penggunaan perintah pengadilan berskala nasional dalam beberapa perkara, mereka juga memberikan pengecualian dalam kasus-kasus tertentu. Ini memungkinkan pengadilan di Massachusetts, New Hampshire, dan Sirkuit ke-9 untuk kembali mengeluarkan keputusan yang menghentikan penerapan kebijakan Trump secara luas. Maka, meskipun ada batasan baru dari Mahkamah Agung, beberapa pengadilan tetap memiliki ruang hukum untuk memblokir kebijakan yang dinilai inkonstitusional.
Dengan kecenderungan pengadilan banding untuk menolak kebijakan tersebut, serta adanya dukungan kuat dari pengadilan yang lebih rendah. Peluang Trump untuk mempertahankan kebijakan kewarganegaraan ini tampaknya semakin kecil. Semua mata kini tertuju pada Mahkamah Agung. Yang akan menjadi penentu akhir dalam perkara yang sangat penting bagi arah kebijakan imigrasi Amerika Serikat ke depan.