American Party SC – Gelombang Tarif Trump sejak awal masa jabatannya memicu ketidakpastian besar di pasar global. Kebijakan perdagangan yang berubah dengan cepat mengguncang perekonomian dunia dan memunculkan respons beragam dari mitra dagang utama Washington. Langkah-langkah ini bukan hanya soal angka tarif semata, tetapi juga bagian dari strategi politik, keamanan, serta tekanan diplomatik.
Pada awal Februari, Gelombang Tarif Trump ditandai dengan pengumuman pengenaan tarif sebesar 25 persen terhadap barang impor dari Meksiko dan sebagian besar Kanada, sementara impor dari Tiongkok dikenakan tarif 10 persen. Kebijakan ini dikaitkan dengan tuntutan untuk mengurangi arus masuk fentanil dan imigran ilegal ke Amerika Serikat. Namun, hanya beberapa hari setelahnya, Trump melonggarkan sikapnya dengan menangguhkan tarif selama 30 hari untuk Meksiko dan Kanada. Penangguhan itu diberikan sebagai imbalan atas komitmen kedua negara memperketat penegakan hukum perbatasan. Sebaliknya, Tiongkok tidak memperoleh kelonggaran serupa, sehingga ketegangan bilateral semakin meningkat.
Baca Juga : Republik California Gugat Rencana Redistricting Demokrat
Tidak lama kemudian, Trump menaikkan tarif baja dan aluminium menjadi 25 persen. Kenaikan ini menimbulkan protes dari berbagai kalangan industri yang khawatir akan dampaknya terhadap rantai pasokan global. Pada awal Maret, ia kembali menegaskan sikap keras dengan memberlakukan tarif 25 persen terhadap barang dari Meksiko dan Kanada, serta menggandakan tarif yang berkaitan dengan fentanil terhadap barang asal Tiongkok menjadi 20 persen. Meski demikian, ada pengecualian sementara bagi Kanada dan Meksiko berdasarkan kesepakatan perdagangan Amerika Utara.
Menjelang akhir Maret, Trump meluncurkan kebijakan baru berupa tarif 25 persen untuk mobil dan truk ringan impor. Tidak berhenti di situ, pada awal April, ia mengumumkan penerapan tarif global sebesar 10 persen untuk hampir semua impor, diiringi tarif lebih tinggi terhadap beberapa negara tertentu. Namun, kebijakan ini mengalami perubahan cepat. Dalam waktu kurang dari sehari, sebagian besar tarif khusus negara dihentikan. Meski begitu, tarif umum 10 persen tetap berlaku bagi hampir semua barang impor Amerika.
Sikap Trump terhadap Tiongkok kian tegas ketika ia menyatakan niat menaikkan tarif barang impor dari negeri itu hingga 145 persen. Kondisi ini memuncak pada Mei, ketika Amerika Serikat dan Inggris menyepakati perjanjian perdagangan terbatas yang tetap memberlakukan tarif 10 persen atas ekspor Inggris, namun menurunkan tarif untuk mobil. Beberapa hari kemudian, tercapai gencatan senjata dengan Tiongkok. Dalam kesepakatan 90 hari itu, tarif tambahan Amerika terhadap Tiongkok dikurangi menjadi 30 persen, sementara Beijing menurunkan bea masuk atas barang Amerika hingga 10 persen.
Ketegangan kembali mencuat ketika Trump memperingatkan perusahaan besar seperti Apple bahwa ponsel yang diproduksi di luar negeri bisa terkena tarif 25 persen. Keputusan pengadilan banding federal pada akhir Mei sempat memperkuat kebijakan tarif Trump, setelah sebelumnya ada putusan pengadilan yang membatasi. Pada Juni, tarif baja dan aluminium dinaikkan hingga 50 persen.
Memasuki Juli, Trump mengalihkan fokus ke negara lain, termasuk Vietnam yang dikenai tarif 20 persen, bahkan 40 persen untuk pengiriman ulang dari negara ketiga. Tidak lama kemudian, ia mengumumkan rencana pengenaan tarif tambahan yang akan berlaku pada Agustus, mencakup berbagai negara dengan besaran antara 25 hingga 40 persen. Kanada, Indonesia, Jepang, hingga Uni Eropa ikut masuk dalam daftar mitra dagang yang terkena kebijakan baru tersebut.
Pada akhir Juli, Amerika Serikat meneken sejumlah kesepakatan perdagangan, mulai dari Eropa, Jepang, Korea Selatan, hingga India dan Brasil. Namun, kesepakatan ini tetap diiringi tarif tinggi, meski beberapa negara berhasil memperoleh kelonggaran dalam sektor tertentu seperti energi atau industri otomotif. Trump juga memperluas daftar barang yang terkena tarif, termasuk pipa dan kabel tembaga.
Memasuki Agustus, tekanan terhadap India meningkat dengan alasan negara tersebut masih mengimpor minyak Rusia. Beberapa hari kemudian, tarif tinggi yang mencakup puluhan negara mulai diberlakukan. Meski demikian, hubungan dengan Tiongkok kembali mengalami jeda ketika gencatan senjata tarif diperpanjang selama 90 hari.
Pada pertengahan Agustus, Amerika Serikat dan Uni Eropa berhasil mencapai kesepakatan kerangka kerja perdagangan baru. Dalam kesepakatan itu, tarif impor ditetapkan sebesar 15 persen untuk sebagian besar barang Eropa. Washington juga berjanji mengurangi bea masuk pada mobil dan suku cadang dari angka 27,5 persen, dengan syarat Brussels melonggarkan tarif terhadap produk Amerika.
Rangkaian kebijakan tarif Trump mencerminkan strategi negosiasi yang agresif, penuh perubahan mendadak, dan sering menimbulkan kebingungan di pasar global. Di satu sisi, kebijakan tersebut dipandang sebagai upaya melindungi kepentingan industri dalam negeri. Namun, di sisi lain, dampaknya terhadap stabilitas ekonomi dunia masih menjadi perdebatan panjang.