American Party SC – Departemen Kehakiman Amerika Serikat (DOJ) selama ini dikenal mengumpulkan data pemilih dari berbagai negara bagian untuk memastikan kepatuhan terhadap undang-undang federal. Data tersebut biasanya digunakan untuk mengecek keakuratan daftar pemilih sesuai aturan Help America Vote Act (HAVA) dan National Voter Registration Act (NVRA). Artinya, peran utama data ini lebih berfokus pada menjaga integritas daftar pemilih, bukan sebagai instrumen penegakan hukum.
Namun, kini muncul wacana baru yang memicu perdebatan. Dokumen internal menunjukkan DOJ tengah mempertimbangkan untuk menyerahkan data pendaftaran pemilih kepada Homeland Security Investigations (HSI). Tujuannya adalah untuk dipadukan dengan basis data penegakan hukum, termasuk sistem verifikasi imigrasi seperti SAVE. Langkah ini dipandang sebagian pihak sebagai upaya memperluas fungsi data pemilih ke arah investigasi kriminal maupun imigrasi.
Rencana pemanfaatan ulang data ini menimbulkan kekhawatiran serius terkait aspek hukum dan perlindungan privasi. Berdasarkan Privacy Act, setiap lembaga federal wajib memberikan pemberitahuan dan kesempatan bagi publik sebelum menggunakan data pribadi untuk tujuan baru. Kritikus menilai, pemindahan data pemilih ke ranah investigasi kriminal bisa dianggap melampaui mandat awal yang disampaikan kepada negara bagian saat data dikumpulkan.
Para pakar hukum juga mempertanyakan dasar legalitas dari langkah tersebut. Tanpa dasar hukum yang jelas, penggunaan data sensitif untuk kepentingan penegakan hukum dapat dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip keterbukaan pemerintah. Hal ini sekaligus menimbulkan risiko turunnya kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemilu, terutama jika publik menilai data pribadinya bisa digunakan untuk tujuan lain di luar konteks kepemiluan.
Baca Juga : Revisi Data Tenaga Kerja AS: Sinyal Awal Pelemahan Ekonomi Amerika
Tidak semua negara bagian menyambut baik permintaan DOJ terkait data pemilih. Beberapa negara bagian justru menolak dengan tegas. Salah satu contoh paling mencolok datang dari pejabat Maine yang secara terang-terangan menolak dan menyampaikan kritik pedas terhadap permintaan tersebut. Penolakan serupa juga terjadi di Minnesota, di mana pejabat pemilu menyatakan bahwa DOJ tidak memberikan dasar hukum yang jelas untuk mengakses data pemilih dalam skala besar.
Selain itu, pengadilan di South Carolina sempat mengeluarkan keputusan yang menghalangi berbagi data pemilih dengan DOJ. Hakim yang menangani perkara tersebut beralasan bahwa perlindungan terhadap data pemilih lebih penting dibanding potensi penggunaannya untuk investigasi. Kasus ini menjadi preseden penting bahwa perlawanan hukum bisa muncul jika pemerintah pusat mencoba memperluas penggunaan data tanpa landasan yang kokoh.
Beberapa poin utama yang memicu perdebatan publik terkait isu ini dapat dirangkum sebagai berikut:
Tujuan Awal vs Tujuan Baru: Data pemilih awalnya dikumpulkan untuk menjaga keakuratan daftar pemilih, bukan untuk penegakan hukum.
Potensi Pelanggaran Privasi: Penggunaan ulang data tanpa transparansi dapat bertentangan dengan Privacy Act.
Kurangnya Transparansi: Negara bagian menilai DOJ belum menjelaskan dengan jelas bagaimana data akan digunakan dan diamankan.
Dampak Politik: Publik khawatir kebijakan ini bisa mengarah pada bentuk baru dari politisasi pemilu, khususnya terkait isu imigrasi dan dugaan pemilih non-warga negara.
Perlawanan Hukum: Keputusan pengadilan di beberapa negara bagian menunjukkan bahwa langkah DOJ tidak serta-merta bisa diterima tanpa tantangan.
Poin-poin di atas menunjukkan bahwa isu ini bukan sekadar teknis administratif. Melainkan juga menyentuh aspek politik, hukum, dan kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi.
Fenomena ini bukanlah kasus tunggal. Laporan Associated Press mengungkap bahwa Departemen Kehakiman AS dalam beberapa bulan terakhir juga meminta data pemilih dari setidaknya 19 negara bagian lainnya. Permintaan itu melintasi garis politik, tidak hanya menyasar negara bagian yang dikuasai Partai Demokrat tetapi juga Republik. Hal ini memperkuat kesan bahwa pemerintah federal tengah menguji batasan baru dalam penggunaan data kepemiluan.
Tren ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai arah kebijakan federal dalam mengelola data sensitif. Apakah pemerintah benar-benar berniat meningkatkan integritas pemilu dengan mengandalkan penegakan hukum, ataukah ada agenda lain yang berpotensi menimbulkan kontroversi? Dalam konteks inilah, diskusi publik semakin intens, dengan kelompok masyarakat sipil mendesak agar transparansi dan akuntabilitas dijunjung tinggi sebelum kebijakan semacam ini diterapkan.
Jika Departemen Kehakiman AS benar-benar mendorong penggunaan data pemilih untuk investigasi kriminal dan imigrasi, dampaknya bisa sangat luas. Bukan hanya menyangkut perlindungan data pribadi, tetapi juga legitimasi pemilu dan kepercayaan warga negara terhadap sistem demokrasi. Dalam jangka panjang, langkah ini dapat memicu polarisasi politik baru, terutama di tengah situasi politik Amerika yang sudah terbelah.
Pertanyaan yang lebih besar adalah apakah publik akan melihat kebijakan ini sebagai upaya menjaga integritas pemilu atau justru sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan. Jawaban atas pertanyaan ini bisa sangat menentukan bagaimana masyarakat menilai pemerintah federal di masa depan, khususnya menjelang pemilu berikutnya.
Artikel tentang Departemen Kehakiman AS ini ditulis ulang oleh : Sarah Azhari | Editor : Micheal Halim
Sumber Informasi : Yahoo.com