American Party SC – Lebih dari 200 warga Venezuela yang sebelumnya dideportasi dari Amerika Serikat dan ditahan di penjara El Salvador telah dipulangkan ke Caracas, Venezuela, pada Jumat malam. Pemulangan ini merupakan bagian dari kesepakatan pertukaran tahanan yang melibatkan tiga negara: Amerika Serikat, El Salvador, dan Venezuela.
Presiden El Salvador, Nayib Bukele, melalui unggahan di media sosial X, menyatakan bahwa pemulangan warga Venezuela itu seiring dengan pembebasan sepuluh warga Amerika yang sebelumnya ditahan di Venezuela. Menurutnya, warga Amerika tersebut dalam perjalanan menuju El Salvador sebelum melanjutkan penerbangan ke Amerika Serikat. Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, mengonfirmasi hal tersebut dan menyampaikan terima kasih kepada Presiden Bukele atas bantuannya dalam mewujudkan kesepakatan ini.
Pemerintah Venezuela menyebut bahwa 252 warganya telah dibebaskan dari El Salvador. Dua pesawat yang membawa mereka mendarat di dekat ibu kota Caracas pada Jumat malam dan disambut langsung oleh Presiden Nicolas Maduro. Warga Venezuela tersebut sebelumnya dikirim ke El Salvador oleh pemerintah AS pada Maret 2025. Deportasi dilakukan atas dasar dugaan keterlibatan mereka dalam geng kriminal bernama Tren de Aragua. Tindakan ini dilakukan berdasarkan penerapan Undang-Undang Musuh Asing tahun 1798 oleh Presiden Donald Trump, yang memungkinkan deportasi tanpa prosedur imigrasi normal.
Baca Juga : Agung Epstein: Trump Desak Rilis Dokumen, Picu Kontroversi Baru
Mereka ditahan di Pusat Penahanan Terorisme (CECOT) di El Salvador. Sebuah penjara dengan keamanan maksimum yang dikenal karena kondisi penahanannya yang keras. Deportasi massal ini mengundang kritik dari kelompok hak asasi manusia. Yang menyatakan bahwa proses hukum diabaikan dan para tahanan tidak diberi kesempatan membela diri. Keluarga dan pengacara banyak dari mereka membantah adanya keterkaitan dengan geng. Serta menyatakan bahwa mereka dijatuhi hukuman tanpa proses pengadilan yang layak.
Angie Rios, istri salah satu tahanan bernama Jesus Rios yang juga memiliki kewarganegaraan Amerika Serikat, mengaku terkejut dan terharu setelah mengetahui suaminya dibebaskan melalui unggahan Presiden Bukele. Beberapa anggota keluarga tahanan berharap bisa bertemu orang yang mereka cintai saat mereka tiba di Venezuela, meskipun mereka menyadari proses administratif akan dilakukan terlebih dahulu.
Pemerintah Venezuela menyatakan bahwa semua pria yang dipulangkan akan menjalani pemeriksaan kesehatan menyeluruh sebelum diizinkan kembali ke rumah masing-masing. Dari seluruh kelompok tersebut, hanya tujuh orang yang disebut memiliki catatan kriminal serius.
Sementara itu, pihak Kedutaan Besar AS, yang kini beroperasi dari Bogota setelah ditutup di Caracas, membagikan foto sepuluh warga Amerika yang dibebaskan. Dalam foto itu, mereka tampak mengibarkan bendera Amerika bersama Kuasa Usaha AS John McNamara. Setelah itu, mereka terlihat berada di dalam pesawat yang akan membawa mereka kembali ke tanah air.
Pejabat tinggi AS juga mengumumkan bahwa sekitar 80 tahanan politik di Venezuela akan dibebaskan sebagai bagian dari kesepakatan. Meski demikian, pemerintah Venezuela hanya menyebutkan bahwa sebagian dari tahanan tersebut akan menjalani bentuk penahanan alternatif. Salah satu tokoh oposisi yang dibebaskan adalah mantan gubernur Williams Davila. Sebuah LSM lokal juga melaporkan bahwa sedikitnya 14 tahanan politik lainnya telah dibebaskan.
Di luar pertukaran tahanan, Venezuela juga menyambut pulangnya tujuh anak migran yang sebelumnya dipisahkan dari orang tua mereka di Amerika Serikat. Mereka kembali ke Venezuela melalui penerbangan deportasi reguler.
Pemerintah Venezuela terus mengkritik penahanan warganya oleh negara lain sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan hukum internasional. Namun di sisi lain, para pengkritik menyebut pemerintah Venezuela juga kerap menahan tokoh oposisi dalam kondisi yang sama buruknya.
Penggunaan Undang-Undang Musuh Asing oleh pemerintahan Trump memicu perdebatan hukum di Amerika Serikat. Undang-undang ini sebelumnya dikenal digunakan untuk menginternir warga keturunan Jepang, Jerman, dan Italia pada masa Perang Dunia II. Mahkamah Agung AS akhirnya memutuskan bahwa pemerintah harus memberikan pemberitahuan yang memadai sebelum menggunakan undang-undang tersebut. Selain itu, warga yang menjadi sasaran juga memiliki hak untuk mengajukan permohonan hukum guna menolak penahanan mereka. Keputusan ini membatasi penerapan undang-undang tersebut dalam konteks modern.
Simak Juga : Machu Picchu: Keajaiban Dunia yang Menyimpan Misteri Peradaban Inca