American Party SC – Pada pertengahan September 2025, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa kembali menggelar sidang penting untuk membahas usulan resolusi gencatan senjata permanen di Gaza. Dari 15 anggota tetap dan tidak tetap, 14 negara menyatakan dukungan penuh terhadap rancangan resolusi tersebut. Namun, Amerika Serikat memilih untuk menggunakan hak vetonya. Langkah ini otomatis menggugurkan rancangan meskipun mayoritas anggota mendukung.
Resolusi yang diajukan sebenarnya mencakup dua poin utama, yaitu seruan penghentian permusuhan di Gaza dan permintaan agar seluruh sandera segera dibebaskan. Di samping itu, rancangan juga menekankan pentingnya akses kemanusiaan tanpa hambatan untuk lebih dari dua juta penduduk Gaza yang kini berada dalam kondisi darurat. Meski demikian, Washington menilai teks resolusi tidak cukup menekankan tanggung jawab kelompok Hamas dalam serangan maupun penyanderaan yang masih berlangsung.
Keputusan veto ini langsung memicu reaksi keras dari pihak Palestina. Otoritas resmi Palestina menyebut bahwa langkah AS hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat di Gaza yang kini menghadapi krisis kemanusiaan parah. Menurut mereka, seharusnya Dewan Keamanan berdiri di sisi warga sipil, bukan terjebak dalam perdebatan politik yang berkepanjangan.
Dukungan terhadap rancangan resolusi juga datang dari hampir seluruh anggota DK PBB lainnya, termasuk negara-negara Eropa, Asia, hingga Afrika. Mereka menilai bahwa kebutuhan mendesak warga Gaza jauh lebih penting dibandingkan perbedaan politik. Dengan demikian, sikap AS dianggap semakin menegaskan isolasi diplomatiknya dalam isu Gaza.
Baca Juga : Pernyataan Bersejarah Senator AS Sebut Israel Lakukan Genosida di Gaza Usai Laporan PBB
Ada beberapa aspek penting dalam rancangan resolusi yang kemudian menjadi alasan veto oleh AS sekaligus titik sorotan negara lain. Beberapa di antaranya adalah:
Frasa pembebasan sandera: Resolusi tidak menggunakan istilah “tanpa syarat”, sehingga ditafsirkan memberi ruang negosiasi yang bisa dimanfaatkan kelompok bersenjata.
Distribusi bantuan kemanusiaan: Banyak negara mendesak pencabutan pembatasan, sementara AS menilai kontrol keamanan tetap dibutuhkan agar bantuan tidak disalahgunakan.
Pernyataan tentang serangan sipil: Teks resolusi memang menyebut penderitaan masyarakat Gaza, tetapi tidak mengatur konsekuensi hukum bagi pelaku serangan terhadap warga sipil.
Aspek legitimasi hukum: Negara pendukung menilai veto AS bertentangan dengan suara mayoritas DK PBB serta melemahkan prinsip hukum internasional.
Perbedaan tafsir inilah yang membuat rancangan resolusi akhirnya tidak bisa diadopsi meski mendapat dukungan hampir bulat.
Simak Juga : Kontroversi Kematian Yu Menglong Diduga Libatkan Aktor hingga Sutradara Cheng Qingsong
Veto yang dijatuhkan Amerika Serikat kali ini memperkuat citra bahwa Washington kerap memprioritaskan kepentingan politik dan sekuritas Israel di atas kesepakatan global. Dampak langsungnya adalah meningkatnya ketegangan diplomatik antara AS dan negara-negara pendukung Palestina, termasuk sekutu tradisional di Eropa. Banyak pihak menilai bahwa langkah ini bisa memperlemah kredibilitas AS dalam forum internasional.
Selain itu, kegagalan resolusi juga membuat krisis kemanusiaan di Gaza berpotensi semakin memburuk. Distribusi makanan, obat, serta perlindungan sipil tetap terhambat oleh blokade dan serangan yang berlanjut. Organisasi kemanusiaan internasional sudah memperingatkan adanya ancaman kelaparan massal jika tidak ada jalur bantuan yang dibuka secara signifikan dalam waktu dekat.
Artikel tentang Resolusi Gencatan Senjata ditulis ulang oleh : Sarah Azhari | Editor : Micheal Halim
Sumber Informasi : Metrotvnews.com