American Party SC – Keluarga korban kecelakaan pesawat Boeing 737 MAX menyatakan akan menolak kesepakatan nonpenuntutan yang sedang dirancang antara Departemen Kehakiman Amerika Serikat (DOJ) dan pihak Boeing. Penolakan ini disampaikan melalui pernyataan pengacara mereka, Paul Cassell. Pada Sabtu menyusul pertemuan yang dilakukan DOJ dengan keluarga korban sehari sebelumnya.
Kesepakatan tersebut dianggap sebagai bentuk kelonggaran hukum yang tidak sebanding dengan beratnya tragedi yang terjadi. Dua kecelakaan fatal yang melibatkan Boeing 737 MAX pada tahun 2018 dan 2019 di Indonesia dan Ethiopia telah merenggut nyawa 346 orang. Keluarga korban menilai bahwa kesepakatan yang ada tidak mencerminkan akuntabilitas yang seharusnya dimiliki oleh perusahaan penerbangan besar seperti Boeing.
Dalam pengajuan resminya ke pengadilan pada Sabtu, Departemen Kehakiman menyebutkan bahwa pihaknya belum mengambil keputusan akhir terkait perjanjian ini. DOJ memberi batas waktu hingga Kamis bagi keluarga korban untuk mengajukan keberatan secara tertulis.
Baca Juga : Wabah Flu Burung di Brasil Picu Larangan Ekspor
Pengacara Cassell menyampaikan bahwa kliennya akan menolak kesepakatan tersebut karena dianggap gagal menegakkan keadilan bagi para korban. Ia menyebut kesepakatan itu tidak mampu menempatkan Boeing sebagai pihak yang benar-benar bertanggung jawab atas tragedi. Yang telah disebut sebagai “kejahatan korporasi paling mematikan dalam sejarah Amerika Serikat” oleh Hakim Distrik Reed O’Connor.
Perjanjian ini jika disetujui akan mencegah proses persidangan terhadap Boeing yang dijadwalkan berlangsung pada 23 Juni. Boeing menghadapi tuduhan penipuan karena diduga telah menyesatkan otoritas regulator penerbangan Amerika Serikat mengenai sistem kontrol penerbangan. Penting dalam model 737 MAX serta sistem tersebut diketahui sebagai penyebab utama dua kecelakaan fatal tersebut.
Kesepakatan yang sedang dibahas akan memungkinkan Boeing terhindar dari status hukum sebagai perusahaan dengan catatan kriminal, sesuatu yang sangat ditentang oleh keluarga korban. Bagi mereka, persidangan terbuka merupakan satu-satunya jalan untuk menuntut keadilan dan mengungkap seluruh kebenaran terkait peran Boeing dalam kecelakaan yang terjadi.
Paul Cassell juga mengungkapkan bahwa kesepakatan baru ini merupakan langkah mundur dibandingkan komitmen sebelumnya pada tahun lalu, ketika Boeing sempat menyatakan akan mengaku bersalah atas tuduhan pidana. Dalam kesepakatan yang kini dibahas, Boeing tidak akan mengakui kesalahan secara hukum, yang semakin memicu kekecewaan dari pihak keluarga.
Boeing sendiri hingga saat ini menolak memberikan komentar atas proses hukum yang sedang berjalan. Sebelumnya, pada bulan Juli, perusahaan tersebut sempat menyatakan kesediaannya untuk mengaku bersalah atas tuduhan konspirasi penipuan kriminal. Serta membayar denda hingga 487,2 juta dolar AS. Namun dalam perkembangan terbaru. Belum ada pertukaran dokumen resmi antara pihak Boeing dan DOJ terkait perincian akhir dari kesepakatan nonpenuntutan yang baru.
Departemen Kehakiman menginformasikan kepada keluarga bahwa sebagai bagian dari perjanjian baru, Boeing akan diminta membayar tambahan dana sebesar 444,5 juta dolar AS. Dana tersebut akan dimasukkan ke dalam dana kompensasi korban kecelakaan dan dibagikan secara merata kepada keluarga korban. Dana ini menjadi tambahan dari kompensasi senilai 500 juta dolar AS yang telah dibayarkan Boeing pada tahun 2021.
Boeing juga masih berada di bawah pengawasan ketat dari Badan Penerbangan Federal (FAA) sejak insiden terbaru pada Januari 2024. Dalam insiden tersebut, sebuah pesawat MAX 9 mengalami keadaan darurat di udara akibat hilangnya penutup pintu karena empat baut kunci yang tidak terpasang. Sebagai tanggapan, FAA membatasi produksi pesawat 737 MAX hingga 38 unit per bulan.
Kasus hukum ini masih terus berkembang, dan keputusan akhir akan bergantung pada tanggapan resmi dari keluarga korban serta pertimbangan DOJ mengenai kelanjutan perjanjian atau melanjutkan proses ke pengadilan.
Simak Juga : Membaca Arah Krisis: 4 Ancaman Global yang Mengintai