American Party SC – Sejumlah universitas di Amerika Serikat saat ini memberikan berbagai bentuk bantuan kepada mahasiswa asing yang terdampak oleh kebijakan imigrasi ketat dari pemerintahan Presiden Donald Trump. Mulai dari peringatan agar tidak meninggalkan negara hingga saran hukum, universitas AS berupaya melindungi mahasiswa dari potensi deportasi. Kebijakan ini mulai menimbulkan kekhawatiran serius, terutama setelah aparat imigrasi menangkap sejumlah mahasiswa yang terlibat dalam protes pro-Palestina, serta meningkatnya jumlah mahasiswa asing yang dideportasi karena pelanggaran ringan.
Beberapa universitas diam-diam menyarankan mahasiswa asing untuk menyewa pengacara dan tetap mengikuti kegiatan akademik sambil menunggu hasil proses hukum. Langkah ini disampaikan oleh lebih dari dua puluh mahasiswa, pengacara, dan pejabat universitas yang diwawancarai oleh Reuters. Di sisi lain, fakultas dan organisasi akademik turut mengajukan gugatan hukum sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap menargetkan mahasiswa asing.
Aliansi Presiden untuk Pendidikan Tinggi dan Imigrasi, sebuah organisasi yang mewakili pemimpin universitas di AS, juga turut mengajukan gugatan di pengadilan federal Boston. Gugatan ini menentang keputusan pemerintah yang menghapus status sah ribuan mahasiswa asing. Dengan lebih dari 1,1 juta mahasiswa internasional yang sedang belajar di AS, dampak ekonomi dari situasi ini juga sangat besar. Berdasarkan data dari Asosiasi Universitas Amerika, mahasiswa asing menyumbang sekitar $44 miliar bagi perekonomian AS tahun lalu.
Baca Juga : Frank Lucas Desak Perlindungan The Fed dari Pengaruh Politik
Namun, yang dipertaruhkan bukan hanya ekonomi. Presiden Massachusetts Institute of Technology (MIT), Sally Kornbluth, menegaskan pentingnya kontribusi mahasiswa asing terhadap kemajuan akademik di AS. Ia menyatakan bahwa universitasnya merupakan institusi Amerika, namun tidak akan berkembang tanpa kehadiran talenta dari berbagai negara.
Data menunjukkan bahwa lebih dari separuh mahasiswa asing di AS berasal dari India dan Tiongkok. Imigrasi dan Penegakan Bea Cukai AS telah menghapus lebih dari 4.700 nama dari sistem SEVIS. Hal ini yakni database untuk mahasiswa dan pengunjung pertukaran pemegang visa. Hampir setengah dari jumlah tersebut merupakan mahasiswa asal India, sebagian besar adalah peserta program Pelatihan Praktik Opsional (OPT), yaitu program pengalaman kerja bagi lulusan perguruan tinggi.
Asisten Sekretaris Departemen Keamanan Dalam Negeri, Tricia McLaughlin, menyatakan bahwa mahasiswa yang kehilangan status SEVIS harus meninggalkan negara. Ia menegaskan bahwa mereka yang berada di AS secara ilegal akan ditangkap, dideportasi, dan tidak diizinkan kembali.
Pihak universitas mendorong mahasiswa yang terkena dampak untuk segera mencari bantuan hukum. Dalam beberapa kasus, mereka tetap diperbolehkan mengikuti perkuliahan selama proses banding berjalan. Seorang pengacara imigrasi di New York, Clay Greenberg, mengungkapkan bahwa sebagian besar kliennya tetap bisa kuliah dengan izin dari kampus. Menurut data Reuters, lebih dari 200 mahasiswa yang dikeluarkan dari SEVIS telah memperoleh keputusan pengadilan sementara yang mencegah pemerintah mengambil tindakan terhadap mereka.
Beberapa universitas besar seperti George Mason di Virginia dan University of California juga memberikan panduan agar mahasiswa dapat menyelesaikan pendidikan mereka. Juru bicara UC menyampaikan bahwa pihaknya tengah mencari solusi agar mahasiswa dapat tetap melanjutkan studi. Sementara itu, Duke University memperingatkan mahasiswa asing untuk tidak bepergian selama liburan musim panas, karena dikhawatirkan mereka tidak akan dapat kembali ke AS.
Ketegangan ini menyebabkan kecemasan mendalam di kalangan mahasiswa asing. Seorang mahasiswa pascasarjana ilmu komputer asal India menyatakan bahwa ia selalu waspada saat melihat aparat berseragam. Beberapa mahasiswa bahkan memilih untuk meninggalkan AS secara sukarela. Salah satunya adalah Momadou Taal, pemimpin aksi pro-Palestina di Cornell University. Yang memutuskan kembali ke Inggris untuk menyelesaikan kuliahnya setelah diminta menyerahkan diri ke otoritas imigrasi.
Seorang mahasiswa asal India lainnya di Georgia juga mengaku kehilangan status hukumnya karena tercantum dalam catatan kriminal meski dakwaan akhirnya dibatalkan. Ia tetap melanjutkan kuliah atas izin kampus dan kini bersikap lebih berhati-hati.
Kondisi ini menandakan bahwa mahasiswa asing kini tidak hanya menghadapi tekanan akademik, tetapi juga ancaman hukum yang serius. Peran aktif universitas dalam melindungi dan membimbing mereka menjadi sangat penting di tengah ketidakpastian yang ada.
Simak Juga : Citra Kirana: Inspirasi Gaya Fashionable dengan Tampilan Elegan