American Party SC – Debat kewenangan hakim federal dalam mengeluarkan perintah pengadilan nasional menjadi sorotan serius di Amerika Serikat. Meskipun Presiden Donald Trump dari Partai Republik dan pendahulunya dari Partai Demokrat, Joe Biden, sering kali berbeda pandangan, keduanya sepakat bahwa kekuasaan tersebut perlu dibatasi. Mereka menilai bahwa putusan pengadilan yang berlaku secara luas dapat menghambat pelaksanaan kebijakan pemerintahan secara efektif.
Pengacara Trump, Sarah Harris, dalam dokumen tertanggal 13 Maret, menyampaikan kepada Mahkamah Agung bahwa pengadilan harus menghentikan praktik ini. Ia merujuk pada perintah pengadilan yang memblokir kebijakan Trump terkait pembatasan kewarganegaraan otomatis berdasarkan tempat kelahiran. Sementara itu, Elizabeth Prelogar, pengacara negara di era Biden, dalam kasus terpisah yang diajukan pada akhir tahun lalu, menyebut perintah nasional telah menimbulkan gangguan besar, terutama dalam pelaksanaan undang-undang anti pencucian uang.
Perintah pengadilan nasional telah menjadi titik krusial dalam menentukan sejauh mana presiden dapat menjalankan agenda kebijakan mereka. Ketika seorang hakim tunggal dapat menghentikan kebijakan nasional, hal ini menjadi tantangan besar bagi kekuasaan eksekutif. Kasus-kasus penting yang menyangkut putusan semacam itu kini tengah ditangani atau menunggu keputusan dari Mahkamah Agung.
Profesor hukum dari University of Virginia, Amanda Frost, menyatakan bahwa tidak ada presiden yang menyukai perintah nasional karena dapat membatasi kewenangan mereka. Hal ini mendorong semakin besarnya tekanan pada Mahkamah Agung dan Kongres untuk mengatur ulang mekanisme putusan tersebut. Bahkan, Trump menyebut kondisi ini sebagai “racun” dan mendesak Mahkamah Agung untuk mengambil tindakan.
Baca Juga : Gelombang Protes Anti-Trump
Trump dan partai Republik juga telah mengkritik keras para hakim yang memblokir kebijakannya, termasuk dalam isu-isu kontroversial seperti pelarangan transgender di militer, penutupan lembaga federal, hingga kebijakan keragaman di tempat kerja. Ia bahkan menyerukan pemakzulan terhadap Hakim James Boasberg, yang memblokir deportasi cepat terhadap tersangka anggota geng dari Venezuela. Hal ini mendapat kecaman dari Ketua Mahkamah Agung, John Roberts, yang menegaskan pentingnya menjaga independensi yudisial.
Penggunaan perintah pengadilan nasional diperdebatkan secara luas oleh para ahli hukum. Perintah ini tidak hanya berdampak pada penggugat yang terlibat dalam kasus, tetapi juga berlaku secara luas kepada seluruh warga negara. Beberapa hakim berpendapat bahwa cakupan nasional dibutuhkan untuk menghindari ketidakselarasan hukum di berbagai wilayah.
Baik Partai Republik maupun Demokrat menyatakan kekhawatiran atas praktik ini. Mereka menilai bahwa perintah universal berpotensi mempolitisasi peradilan dan mengganggu keseimbangan kekuasaan. Namun, perintah ini juga dianggap sebagai alat penting bagi pihak oposisi untuk menghambat kebijakan presiden yang dianggap melampaui batas.
Menurut catatan Profesor Stephen Vladeck dari Universitas Georgetown, sejak Trump menjabat kembali pada Januari, lebih dari dua pertiga kasus permohonan perintah pengadilan telah disetujui oleh hakim. Hal ini menunjukkan tren penggunaan perintah pengadilan nasional yang semakin intens.
Kongres yang kini dikuasai Partai Republik telah mengusulkan rancangan undang-undang untuk membatasi penggunaan perintah semacam itu. Dalam sidang Komite Kehakiman Senat, Profesor Samuel Bray dari Universitas Notre Dame menyebut perintah nasional sebagai ancaman bipartisan yang bisa merugikan demokrasi dalam jangka panjang.
Namun, Amanda Frost tetap menekankan pentingnya keberadaan perintah nasional dalam beberapa situasi. Ia menilai bahwa Trump merupakan contoh nyata mengapa perintah tersebut diperlukan, terutama saat kebijakan presiden berdampak luas dan langsung.
Asal-usul perintah nasional ini juga masih diperdebatkan. Hakim Mahkamah Agung Neil Gorsuch menyebutnya sebagai fenomena baru. Namun, Profesor Mila Sohoni dari Stanford berpendapat sebaliknya, dan menunjukkan bahwa Mahkamah Agung pernah mengeluarkan perintah serupa bahkan sejak tahun 1913.
Studi Harvard Law Review 2024 menunjukkan bahwa perintah ini semakin sering digunakan dalam dua dekade terakhir, terutama oleh hakim yang ditunjuk oleh presiden dari partai oposisi.
Meskipun efektif menghentikan tindakan eksekutif yang dinilai melanggar hukum, perintah pengadilan nasional juga bisa disalahgunakan. Menurut pakar hukum Monica Haymond, jawabannya terletak pada seberapa besar kepercayaan publik terhadap sistem peradilan itu sendiri.
Simak Juga : Syar’i Larissa Chou: Gaya Busana Tetap Modis dan Istiqamah Berjilbab